MASERASI SEBAGAI ALTERNATIF EKSTRAKSI
PADA PENETAPAN KADAR KURKUMINOID SIMPLISIA TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza Roxb)
Mujahid R, Awal PKD, Nita S
Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu
ABSTRAK
Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb) merupakan salah satu bahan yang cukup banyak digunakan pada klinik saintifikasi djamoe Hortus Medicus. Oleh sebab itu kontrol kualitas dari temu lawak sangat penting dilakukan untuk menjamin kesinambungan kualitas. Dalam analisa dibutuhkan metode yang sederhana, cepat, efisien dan tidak mahal. Farmakope Herbal Indonesia 2008 menyebutkan bahwa ekstraksi temulawak untuk penetapan kadar kurkuminoid adalah dengan refluks, ini dipandang kurang praktis dan efisien karena membutuhkan peralatan khusus, waktu yang relatif lama, energi dan bahan kimia yang cukup banyak. Oleh sebab itu telah dilakukan modifikasi tahapan ekstraksi penetapan kadar kurkuminoid dalam simplisia temulawak dan dibandingkan terhadap metode refluks yaitu dengan metode maserasi 24 jam dan sonikasi 15 menit. Sistem penetapan kadar secara KLT Densitometri dengan fase diam silika gel 60 F254, fase gerak n-heksan: etil asetat (1:1) dan deteksi pada panjang gelombang 425 nm.
Kadar kurkuminoid temulawak yang tertetapkan dengan metode ekstraksi refluks, sonikasi dan maserasi berturut-turut adalah : 1,17+0,05%; 1,13+0,16% dan 1,36+0,11%. Uji anova single factor menunjukkan adanya perbedaan tidak nyata dengan nilai Fhit3,455 dan Ftab5,143 dari validasi metode diperoleh LOD 11,95ng/spot, dan LOQ 0,40%, 0,61% dan 0,27% untuk ekstraksi secara refluks, sonikasi dan maserasi. Metode yang dapat diterapkan sebagai alternatif ekstraksi yang sederhana dalam penetapan kadar kurkuminoid pada simplisia temulawak adalah maserasi.
Kata kunci : Maserasi, penetapan kadar, kurkuminoid, temulawak
PENDAHULUAN
Temulawak merupakan salah satu obat asli Indonesia
yang penggunaannya paling luas baik di negara-negara Asia bahkan di seluruh
dunia. Temulawak tumbuh dengan subur di berbagai negara khususnya yang memiliki
iklim tropis. Sekitar 70% dari jamu yang beredar di Indonesia memakai bahan
utama temulawak. (Kertia, 2007). Secara tradisional rimpang temulawak
dimanfaatkan untuk tujuan perbaikan pencernaan, pada anak-anak yang kurang
mempunyai nafsu makan, peluruh batu empedu, pelancar ASI, pelancar pencernaan,
penurun panas, peluruh batu ginjal, penurun kolesterol (Sudarsono dkk.,
1985). Adapun cara pemakaian umum di masyarakat adalah dengan menyeduh rimpang
temulawak.
Metabolit yang terdapat dalam rimpang temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb, suku Zingiberaceae) yang menopang manfaat di bidang
kesehatan antara lain kurkumin, desmetoksi kurkumin (suatu zat warna kuning,
turunan diaril heptanoid) dan minyak atsiri (terutama komponen seskuiterpen
antara lain: xanthorrhizol, ar-turmeron, alpha-Phelan-dren). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kurkumin, desmetoksi kurkumin dan xanthorrhizol berefek pada
stimulasi cairan empedu. Hasil penelitian terhadap kurkuminoid rimpang temulawak
menunjukkan adanya efek kolekinetik (Schneider, 1985).
Mengingat aktifitas yang dimiliki oleh kurkuminoid dan
xanthorrizol maka kedua senyawa ini digunakan sebagai senyawa identitas yang
digunakan sebagai parameter mutu dari temulawak. Bahkan dalam Farmakope Herbal
Indonesia (2008) dengan tegas menyebutkan bahwa parameter kandungan kimia untuk
simplisia temulawak adalah kandungan kurkuminoid.
Refluks merupakan prosedur baku ekstraksi yang disarankan Farmakope Herbal Indonesia untuk penetapan kadar kurkuminoid dalam simplisia temulawak. Ekstraksi secara refluks membutuhkan peralatan khusus, waktu yang relatif lama, energi dan bahan kimia yang cukup banyak, sehingga diperlukan alternatif ekstraksi yang lebih sederhana, cepat, efisien dan tidak mahal, namun tetap memenuhi kaidah-kaidah analisis. Ekstraksi secara sonikasi sangat tepat diterapkan pada analisa dalam jumlah massif dengan waktu yang terbatas. Sedangkan maserasi merupakan cara yang sangat sederhana dan tidak membutuhkan peralatan khusus sehingga dapat diterapkan di semua laboratorium.
METODOLOGI
Bahan Penelitian
Bahan yang dibutuhkan adalah simplisia temulawak, baku
kurkuminoid Aldrich (94% HPLC), alkohol, n-heksan, etil asetat, plat TLC Silika
gel F245.
Alat Penelitian
Alat yang digunakan adalah neraca analitik, sonikator,
refluks set, sentrifuse, Camag Linomat 5, Camag TLC Scanner 3, bejana
kromatografi dan alat alat gelas.
Jalannya Penelitian
Preparasi sampel
a.
Refluks (Anonim,
2008)
Ditimbang seksama 500,0 mg serbuk simplisia temulawak,
dimasukkan dalam labu alas bulat 250 ml; 20 ml etanol ditambahkan; direfluks
selama 30 menit; diangkat dan disaring, filtrat disisihkan; ampas direfluks
kembali dengan 15 ml etanol selama 30 menit; diangkat dan disaring, filtrat
disisihkan; ampas kembali direfluks dengan 15 ml etanol selama 30 menit; diangkat
dan disaring. Filtrat dikumpulkan dan digenapkan menjadi 50,0 ml menggunakan
labu takar (sampel siap ditotolkan).
b.
Sonikasi
Ditimbang seksama 100,0 mg serbuk simplisia temulawak,
sampel dimasukkan dalam botol bertutup 25 ml; 10,0 ml etanol ditambahkan secara
seksama; disonikasi selama 15 menit; didiamkan selama 30 menit, 1 ml bagian
bening diambil dan dimasukkan dalam tabung sentrifuse; sampel disentrifuse
selama 5 menit pada 10.000 rpm (sampel siap ditotolkan).
c.
Maserasi
Ditimbang seksama 100,0 mg serbuk simplisia temulawak,
sampel dimasukan dalam botol bertutup 25 ml; 10,0 ml etanol ditambahkan secara
seksama; sampel disimpan pada tempat gelap selama 24 jam; 1 ml bagian bening
diambil dan dimasukan dalam tabung sentrifuse; sampel disentrifus selama 5 menit
pada 10.000 rpm (sampel siap ditotolkan).
Standard
Addition Methode (SAM)
Untuk menetapkan perolehan kembali dan LOQ masing
masing metode ekstraksi dilakukan dengan SAM. Simplisia uji ditambahkan
sejumlah baku kurkuminoid yang setara dengan 0,25 dan 0,50%; selanjutnya
dilakukan ekstraksi dengan ketiga macam metode tersebut.
Preparasi baku
Ditimbang seksama 1,8171 mg baku kurkuminoid aldrich
(94% HPLC). Ditambahkan dengan seksama 10,0 ml etanol, sehingga diperoleh kadar
kurkuminoid setara 0,1708 μg/μl.
Sistem KLT
Fase diam yang digunakan adalah Silica gel F254
Merck, sampel ditotolkan menggunakan Camag Linomat 5 dengan jarak dari dasar
10mm, jarak antar totolan 10mm, lebar totolan 2mm. Baku kurkuminoid ditotolkan
sejumlah 0,1; 0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 μl atau setara dengan 17,08; 34,15;
68,30; 102,45 dan 135,5 ng/spot, sedangkan sampel masing-masing ditotolkan 0,5
μl. Fase gerak berupa campuran n-heksan etil asetat (1:1), jarak
pengembangan 8 cm. Dideteksi dengan Camag TLC Scanner 3 menggunakan program Wincats
versi 1.4.4 pada panjang gelombang 425 nm.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pada sistem KLT Densitometri yang
dilakukan, diperoleh kromatogram baku
kurkuminoid dan sampel temulawak sebagai berikut:
Gambar 1. Kromatogram baku kurkuminoid dan sampel
temulawak.
Tampak adanya puncak/spot pada Rf
0,35-0,40 baik pada baku maupun sampel. Data pemindaian panjang gelombang juga
menunjukan adanya kesesuaian panjang gelombang maksimum dan spektra antara baku
dan sampel dengan tingkat kesesuaian
96,83%. (Gambar 2) dengan data ini berarti dalam sampel temulawak
secara kualitatif mengandung kurkuminoid.
Gambar 2. Spektrum baku kurkuminoid dan sampel temulawak
pada spot/puncak dengan Rf
0,35-0,40
Data kurva baku yang nantinya
digunakan dalam perhitungan penerapan kadar ditampilkan dalam tabel 1. Dari
data tersebut diperoleh persamaan sebagai berikut:
Y = (82,27 + 3,92) X + (1.121,35 +
327,73)
Nilai korelasi R2 = 0,971 telah memenuhi parameter
analitik yang disarankan Shoum, 2010
yaitu 0,514 (untuk
n=15).
Perhitungan lebih lanjut (Miller and Miller, 1988) diperoleh nilai batas deteksi minimum (LOD) sebesar
11,95 ng/spot, dalam
arti bahwa jumlah kurkuminoid paling kecil (minimum) yang masih dapat dideteksi
keberadaaNnya dalam sistem totolan KLT tersebut adalah 11,95 ng/totolan.
Tabel I. Data kurva
baku kurkuminoid
Jumlah
Kurkuminoid (ng/spot) |
Luas Area
(AU) |
17,08 |
2.013,30 1.855,41 1.895,73 |
34,15 |
4.408,42 3.894,25 4.102,16 |
68,30 |
7.747,08 7.093,14 7.272,15 |
102,45 |
10.430,98 9.368,81 9.622,67 |
135,50 |
12.701,02 11.139,89 11.527,75 |
Dari data kurva baku
tersebut juga dapat diperoleh nilai koefisien variasi (CV) yang merupakan salah
satu parameter presisi (ketelitian). Koefisien variasi metode KLT
Densitometri untuk penetapan kadar kurkuminoid adalah 4,76%. Secara umum
koefisien variasi disarankan kurang dari 2% (Hamirta, 2004), sedangkan US FDA (2001) menyatakan koefisien variasi
harus kurang dari 15%. Dengan
demikian metode KLT Densitometri cukup layak digunakan dalam penetapan kadar
kurkuminoid.
Hasil penetapan kadar kurkuminoid dalam simplisia temulawak disajikan dalam Tabel II. Uji anova satu jalan didapatkan nilai Fhitung 3,455 (Ftabel=5,143), hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstraksi memberikan hasil yang berbeda tidak bermakna terhadap penetapan kadar kurkuminoid simplisia temulawak.
Tabel
II. Hasil
penetapan kadar kurkuminoid simplisia temulawak yang
diekstraksi dengan metode refluks (Anonim, 2008), sonikasi dan maserasi
No |
Kadar
Kurkuminoid Simplisia (%) |
||
Refluks |
Sonikasi |
Maserasi |
|
1 |
1,23 |
0,95 |
1,44 |
2 |
1,15 |
1,17 |
1,24 |
3 |
1,12 |
1,27 |
1,40 |
Rata-rata +
SD |
1,17 +
0,05 |
1,13 +
0,16 |
1,36 +
0,11 |
Ketepatan
(accuracy) dari suatu metode analisis
dapat dinilai dari perolehan kembali (recovery) dengan Standard Addition Methode (SAM). Tabel III
menyajikan perolehan kembali penetapan kadar kurkuminoid simplisia temulawak
masing-masing
adalah 109,34; 117,58 dan 108,37%, untuk metode ekstraksi refluks (Anonim,2008),
sonikasi dan maserasi. Dari uji anova satu jalan nilai perolehan kembali antara
ketiga macam metode tersebut berbeda bermakna, yang ditunjukan dengan nilai Fhitung
4,562 dan Ftabel 3,683. Uji lebih lanjut menunjukan perolehan
kembali ekstraksi cara refluks berbeda tidak bermakna dengan cara maserasi.
Tabel
III. Perolehan kembali penetapan kadar
kurkuminoid simplisia temulawak yang diekstraksi dengan metode refluks (Anonim, 2008), sonikasi dan maserasi
Perlakuan |
Sampel + baku |
Jumlah Kurkuminoid (mg) |
Perolehan Kembali |
||
(%) |
Riil |
Hasil PK |
(%) |
Rata rata |
|
Refluks |
0,00 |
6,10 |
|
|
|
|
0,00 |
5,78 |
|
|
|
|
0,00 |
5,58 |
|
|
|
|
0,25 |
7,12 |
8,05 |
113,06 |
109,34 |
|
0,25 |
7,04 |
7,44 |
105,68 |
|
|
0,25 |
7,08 |
7,60 |
107,34 |
|
|
0,50 |
8,36 |
8,95 |
107,06 |
|
|
0,50 |
8,40 |
9,66 |
115,00 |
|
|
0,50 |
8,37 |
9,03 |
107,89 |
|
Sonikasi |
0,00 |
0,93 |
|
|
|
|
0,00 |
1,16 |
|
|
|
|
0,00 |
1,25 |
|
|
|
|
0,25 |
1,36 |
1,74 |
127,94 |
117,58 |
|
0,25 |
1,41 |
1,55 |
109,93 |
|
|
0,25 |
1,36 |
1,42 |
104,41 |
|
|
0,50 |
1,66 |
1,97 |
118,67 |
|
|
0,50 |
1,67 |
2,03 |
121,56 |
|
|
0,50 |
1,61 |
1,98 |
122,98 |
|
Maserasi |
0,00 |
1,44 |
|
|
|
|
0,00 |
1,23 |
|
|
|
|
0,00 |
1,38 |
|
|
|
|
0,25 |
1,58 |
1,71 |
108,23 |
108,37 |
|
0,25 |
1,59 |
1,69 |
106,29 |
|
|
0,25 |
1,65 |
1,73 |
104,85 |
|
|
0,50 |
1,85 |
2,10 |
113,51 |
|
|
0,50 |
1,86 |
1,99 |
106,99 |
|
|
0,50 |
1,83 |
2,02 |
110,38 |
|
Dengan rumus yang diungkapkan Miller
and Miller (1988) didapatkan kadar kurkuminoid terkecil (LOQ) dalam simplisia temulawak yang dapat ditetapkan secara
KLT Densitometri adalah 0,40%; 0,61 dan 0,27% untuk metode ekstrasi refluks
(Anonim, 2008), sonikasi dan maserasi.
KESIMPULAN
1.
Penetapan kadar
kurkuminid dalam simplisia temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) dengan metode KLT Densitometri mendapatkan nilai LOD 11,
95 ng/spot.
2.
Kadar kurkuminoid
dalam simplisia temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) yang tertetapkan dengan ekstraksi secara refluks,
sonikasi dan maserasi adalah berbeda tidak bermakna dengan hasil 1,17+0,05%;
1,13+0,16% dan 1,35+0,11% dengan LOQ 0,40 %; 0,61 dan 0,27%.
3.
Maserasi dapat digunakan sebagai alternatife ekstraksi yang sederhana,
dan murah dalam penetapan kadar kurkuminid
dalam simplisia temulawak (Curcuma xanthorriza
Roxb.)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008,
Farmakope Herbal Indonesia,
Departemen Kesehatan RI, hal 150-154, 162-166 dan 175
Hamirta, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1 (3), hal 117 – 135
Kertia N., Sudarsono, 2007, Kontroversi Penggunaan Temulawak Sebagai Obat
Asli Indonesia Untuk Menangani
Masalah Kesehatan Khususnya Osteoartritis, dalam Seminar Nasional Tanaman Obat dan Obat Tradisional : Obat Tradisional Yang Aman, Berkhasiat Dan
Bermutu Mendukung Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Miller, JC.
and Miller, JN., 1988, Statistics for
Analytical Chemistry, 2nd Edition John Wiley & Sons, New
York hal 109-120
Shoum, B,
2010, Statistics and data analysis, LC-GC
Europe Online Supplement, hal 13-18
Sudarsono, Ngatidjan, Subagus Wahyuono,
Didiek Gunawan, Sudrajat, 1985, Tumbuhan Obat I, Pusat Studi Obat
Tradisional UGM.
Schneider G., 1985, Pharmazeutische
Biologie, BI-Wissenschaftsverlag, Mannheim Setton, L.A., Elliot, DM, and
Mow, V.C. 1999. Altered mechanics of cartilage with osteoarthritis: human
oasteoarthritis and an experimental model of joint degeneration. Osteoarthritis
and Cartilage; 7: 2-14.
US Department of Health and Human
Services Food and drug Administration (US FDA): Guidande for Industry:
Bioanalytical Method Validation, 2001.
http.//www.fda.gov/cder/guidance/425fnl.pdf. Accessed May 2, 2006.