UJI SITOTOKSISITAS FRAKSI ETIL ASETAT EKSTRAK ETANOL HERBA ALFALFA (Medicago sativa L.) TERHADAP SEL KANKER
PAYUDARA T47D DAN SEL KANKER LEHER RAHIM (SEL HeLa) SERTA UJI KANDUNGAN SENYAWA
KIMIANYA
Devi Nisa Hidayati, Ibrahim Arifin, Sri Susilowati
Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang
ABSTRAK
Kanker payudara dan kanker leher rahim merupakan jenis
penyakit ganas di Indonesia maupun
dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi sitotoksik fraksi etil
asetat dari ekstrak etanol herba alfalfa terhadap sel kanker payudara (sel
T47D) dan sel kanker leher rahim (sel HeLa) serta mengetahui kandungan
kimianya.
Proses ekstraksi herba alfalfa dilakukan dengan metode
sokletasi menggunakan pelarut etanol kemudian dilanjutkan fraksinasi secara
bertingkat menggunakan n-heksan,
kloroform, dietil eter dan etil asetat. Uji sitotoksisitas menggunakan metode
MTT dengan seri konsentrasi fraksi uji 1000; 500; 250; 125; 62,5 µg/ml terhadap kultur
sel T47D dan sel HeLa. Data berupa
absorbansi sel hidup digunakan untuk
menghitung persentase kehidupan sel T47D dan sel HeLa kemudian ditetapkan IC50
dengan analisis probit menggunakan SPSS
16 for Windows. Uji kandungan kimia dilakukan dengan pereaksi kimia
kemudian dilanjutkan dengan kromatografi lapis tipis (KLT).
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
fraksi etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa memiliki efek sitotoksik
terhadap sel T47D namun tidak memiliki
efek sitotoksik pada sel HeLa. Potensi sitotoksik fraksi etil asetat ekstrak
etanol herba alfalfa terhadap sel T47D yang
dinyatakan dalam nilai IC50 sebesar 1893,4 µg/ml. Fraksi etil asetat
dari ekstrak etanol herba alfalfa mengandung flavonoid.
Kata
kunci: Uji sitotoksisitas, fraksi etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa (Medicago sativa L.), sel T47D, sel HeLa, flavonoid
PENDAHULUAN
Kanker payudara yang dalam
istilah medis biasa disebut Carcinoma
Mammae muncul akibat terganggunya sistem pertumbuhan sel di dalam jaringan
payudara. Kanker leher rahim merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan
dampak psikososial yang luas, terutama bagi pasien dan keluarganya.
Salah satu tanaman yang dipercaya
dapat dijadikan obat adalah alfalfa.
Alfalfa dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit diantaranya kanker
(Astawan dan Kasih, 2008). Menurut penelitian Hong dkk (2011), Coumestrol merupakan komponen
fitoestrogen dari alfalfa. Meningkatnya kejadian kanker payudara maupun kanker
leher rahim, diperkirakan dipicu oleh hormon estrogen. Kelebihan estrogen yang
menyebabkan kanker payudara dapat diturunkan risikonya dengan asupan tinggi
fitoestrogen karena fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen pada
sel-sel payudara sehingga menurunkan risiko kanker payudara (Winarsi, 2005).
Bo-ping dkk (2010) menyebutkan bahwa dalam ekstrak etanol alfalfa terkandung
flavonoid. Fraksinasi dengan pelarut yang sesuai akan menghasilkan kandungan
spesifik dari herba alfalfa yang memiliki aktivitas antikanker. Coumestrol merupakan isoflavonoid
(Newall dkk., 1996). Isoflavonoid merupakan senyawa flavonoid yang bersifat
kurang polar dapat tersari dalam etil asetat (Andersen dan Markham, 2006).
Berdasarkan berbagai pernyataan dan penelitian tersebut, sangatlah menarik
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek sitotoksik herba alfalfa.
Dalam penelitian ini digunakan fraksi etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa
dan dilakukan secara in vitro terhadap sel T47D dan sel HeLa.
METODOLOGI
Bahan Penelitian
Herba
alfalfa diperoleh dari kebun alfalfa di Selo Pass Boyolali Jawa Tengah. Pelarut
etanol 96%, n-heksan, kloroform,
dietil eter dan etil asetat. sel T47D dan sel HeLa, medium RPMI 1640, medium
penumbuh mengandung growth factor 10%
FBS – 0,5 % fungison – 2% antibiotik penisilin dan streptomisin (GIPCO),
dimetil sulfoksida (E.Merck), aquades, tripsin (Sigma), PBS, larutan MTT 5
mg/ml PBS, larutan SDS 10% dalam HCl 0,01 N, doksorubisin. FeCl3,
butanol, asam asetat, aquades, lempeng KLT (Selulosa).
Alat Penelitian
Alat membuat serbuk
dan larutan uji adalah blender
(Maspion), ayakan nomor 25 mesh, timbangan elektrik (Acis), seperangkat alat
sokletasi, corong pisah, thermostatic
waterbath (Memmert), viskometer (Rion VT-04C). Alat pembuatan kultur sel
yaitu tangki nitrogen cair, mikropipet 1 ml (Gilson), conical tube (Nunclon), petri
dish flask (Nunclon), Laminar Air
Flow Cabinet (Gelman Sciences), sentrifugator (Sarfal MC12V), mikroskop fase kontras (Zeiss MC 80) dan CO2
Incubator (Heraeus). Alat untuk
panen sel : pipet pasteur steril, mikropipet 1 ml dan 200 μl (Gilson), conical tube (Nunclon), mikroskop fase
kontras (Zeiss MC 80), haemocytometer (Neubauer), counter. Alat uji sitotoksisitas yaitu
timbangan elektrik (Sartorius), 96-well
plate (Nunclon), conical tube
(Nunclon), dan ELISA reader (SLT 240
ATC). Alat uji KLT adalah lempeng
KLT, bejana kromatografi, pipa kapiler, sinar lampu UV λ366.
Jalannya Penelitian
1.
Determinasi
Tanaman
Determinasi
terhadap tanaman dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Biosistematika Jurusan
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Diponegoro
Semarang.
2.
Pembuatan Senyawa Uji
a.
Pembuatan Serbuk
Herba
Alfalfa dipanen pada bulan Februari-Maret tahun 2011. Herba alfalfa dicuci
bersih dan dikeringkan dengan sinar matahari ditutupi kain hitam. Simplisia
kering diblender. Serbuk diayak dengan
ayakan ukuran 25 mesh, kemudian diukur kadar airnya dengan moisture balance.
b.
Pembuatan Ekstrak Etanol Herba Alfalfa
Proses
sokletasi dilakukan 12 kali dengan
jumlah total serbuk sebanyak 606,4 gram
menggunakan 5,5 liter etanol 96%. Serbuk dibungkus kertas saring kemudian
dimasukkan ke dalam selongsong alat sokletasi dengan labu alas bulat 500 ml
yang terisi kira-kira 450 ml etanol dan beberapa butir batu didih. Serbuk herba
alfalfa diekstraksi dengan etanol 96% menggunakan alat soklet pada suhu 78oC
kemudian ditunggu hingga zat aktif dalam simplisia tersari seluruhnya yang
ditandai dengan jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifron. Sari atau
menstrum herba alfalfa diuapkan dengan thermostatic
waterbath sampai diperoleh ekstrak kental. Kekentalan ekstrak diukur dengan
viscometer. Ekstrak etanol herba alfalfa yang diperoleh selanjutnya dikumpulkan
dan diukur bobotnya untuk menghitung rendemen yang dihasilkan.
c.
Pembuatan Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Herba
Alfalfa
Ekstrak
kental herba alfalfa yang diperoleh dilarutkan ke dalam campuran air dan etanol
dengan perbandingan 9:1. Selanjutnya, difraksinasi dengan menggunakan corong
pisah berturut-turut dengan pelarut n-heksan,
kloroform, dietil eter dan etil asetat. Proses ini dilakukan hingga cairan
jernih. Jumlah pelarut yang digunakan untuk fraksinasi sebanding dengan jumlah
air-etanol yang ditambahkan ke dalam ekstrak etanol (perbandingan 1:1). Fraksi
etil asetat ditampung dan diuapkan menggunakan thermostatic waterbath pada suhu 50º C. Fraksi etil asetat yang diperoleh diukur beratnya dan dilakukan
uji sitotoksisitas.
3.
Uji Sitotoksisitas
a.
Penyiapan Larutan Uji
Larutan uji dibuat dari fraksi etil asetat ekstrak
etanol herba alfalfa. Larutan uji tersebut kemudian diencerkan menjadi 5 seri
konsentrasi dengan menggunakan pelarut dimetil sulfoksida (DMSO). Angka
kelipatan seri konsentrasi diperoleh berdasarkan rumus:
f=
Dimana:
f = Angka kelipatan seri konsentrasi
n = Banyaknya seri
konsentrasi
Dt = Konsentrasi tertinggi
Dr = Konsentrasi terendah
(CCRC, 2010)
Pada penelitian
ini, konsentrasi tertinggi yang digunakan sebesar 1000 µg/ml dan konsentrasi
terendah sebesar 62,5 µg/ml dengan angka kelipatan seri konsentrasi 2. Seri
konsentrasi yang digunakan adalah 62,5; 125; 250; 500 dan 1000 µg/ml.
b.
Preparasi Sel
Sel yang inaktif
dalam wadah ampul diambil dari tangki nitrogen cair dan segera dicairkan pada
suhu 37oC kemudian ampul disemprot etanol 70%. Ampul dibuka dan sel
dipindahkan ke dalam tabung conical steril yang berisi medium RPMI 1640.
Suspensi sel disentrifuge 3000 rpm selama 10 menit, kemudian bagian supernatan
dibuang, pellet ditambah satu ml medium penumbuh yang mengandung 10% FBS,
disuspensikan hingga homogen, selanjutnya sel ditumbuhkan dalam beberapa petri dish flask kecil (3-4 buah), diinkubasikan dalam
inkubator suhu 37oC CO2 5%. Setelah 24 jam, medium
diganti dan sel ditumbuhkan lagi hingga konfluen dan jumlahnya cukup untuk
penelitian.
c.
Pemanenan Sel
Setelah jumlah sel
cukup, medium dibuang dan sel dicuci koloninya. Larutan tersebut dibuang, lalu
ditambah larutan tripsin 2,5% sebanyak 1 ml. Supaya distribusi sel merata maka
ditambah larutan PBS 3 ml, didiamkan sekitar 3-5 menit agar tripsin bekerja
dengan baik. Sel kemudian dipindah ke dalam tabung conical steril dan ditambah
PBS sampai volume 10 ml dan disentrifuge 3000 rpm selama 10 menit. Sel dicuci
dua kali dengan medium yang sama dan dihitung jumlah selnya menggunakan haemocytometer. Suspensi sel ditambah
dengan sejumlah medium kultur sehingga diperoleh konsentrasi sel sebesar yang
diperlukan.
d.
Uji Sitotoksisitas (Metode MTT)
Suspensi
sel dalam medium PRF RPMI 1640 sebanyak 100 μl (kepadatan sel T47D 5 x 103
dan sel HeLa 1,0 x 104 sel/sumuran) dimasukkan ke dalam plate 96 sumuran berbeda dan plate diinkubasi selama 24 jam dalam
inkubator CO2 5%. Kemudian ditambahkan sampel 100 μl dalam medium padat tiap sumuran yang berbeda
sehingga diperoleh kadar akhir dari sampel dengan variasi kadar. Selanjutnya
plate diinkubasi dalam inkubator CO2 5% selama 24 jam pada suhu 37oC.
Pada akhir inkubasi, medium pada masing-masing sumuran dibuang dan dicuci
dengan PBS kemudian ditambahkan 100 μl MK campuran MTT 0,5% dalam PBS. Plate diinkubasi lagi selama 4 jam pada suhu 37oC. Sel
hidup akan bereaksi dengan MTT membentuk formazan yang berwarna ungu. Formazan
dilarutkan dalam larutan SDS, lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar.
Serapan dibaca pada ELISA reader
pada λ 595 nm.
4.
Uji Kandungan Kimia
Uji kandungan kimia dalam
penelitian ini hanya dilakukan terhadap senyawa golongan flavonoid. Uji
kandungan kimia terhadap larutan uji pada penelitian ini dilakukan melalui uji pendahuluan dengan pereaksi kimia
yang dilanjutkan uji KLT. Pada uji pendahuluan, pemeriksaan flavonoid dilakukan
dengan cara ekstrak dilarutkan dalam etanol 96% kemudian ditetesi dengan FeCl3.
Perubahan warna pada awalnya berwarna kuning bening menjadi kuning pekat
menandakan adanya flavonoid dalam fraksi uji. Pada uji Kromatografi Lapis Tipis
digunakan fase gerak, fase diam dan reagen untuk deteksi bercak dalam
pemeriksaan senyawa flavonoid sebagai berikut:
Fase Diam :
Selulosa
Fase Gerak : Butanol
–Asam Asetat – Air (7:1:2)
Reagen Pendeteksi : Uap ammonia
5.
Uji Sitotoksisitas
Data yang didapat dari hasil
pembacaan ELISA reader berupa
absorbansi (OD) masing-masing sumuran dikonversikan dalam persentase kehidupan
sel. OD kontrol pelarut dianggap sama dengan OD kontrol sel maka dihitung
persentase sel hidup dengan rumus:
Persentase
kehidupan sel = OD sel dengan perlakuan - OD kontrol media ×100%
OD kontrol sel- OD kontrol media
Data persentase
kehidupan sel T47D tersebut digunakan untuk menghitung nilai IC50
yang merupakan potensi sitotoksik fraksi etil asetat dari ekstrak etanol herba
alfalfa menggunakan program SPSS 16 for
windows melalui analisis probit
(CCRC, 2010).
6.
Analisis Kandungan Kimia
Analisis hasil identifikasi
golongan senyawa aktif dari fraksi uji dilakukan dengan 2 uji yaitu uji
pendahuluan dan uji KLT. Uji pendahuluan dilakukan dengan melihat perubahan
warna pada larutan uji. Uji KLT dengan membandingkan kesesuaian warna
bercak pada KLT setelah elusi dan bercak
senyawa standar dengan literatur. Pengamatan lempeng KLT dilakukan di bawah
sinar UV λ366 dan pereaksi semprot.
HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
Pembuatan Senyawa Uji
Herba
alfalfa yang sudah dicuci bersih dikeringkan di bawah sinar matahari agar
menjadi kering sehingga mempermudah proses pembuatan menjadi serbuk memiliki
tujuan untuk meningkatkan luas permukaan bahan baku (Voigt, 1994). Serbuk
simplisia herba alfalfa memiliki kadar air sebesar 6 %. Secara
umum kadar air simplisia tanaman obat maksimum 10%. Pemantauan kadar air ini dimaksudkan untuk mencegah
tumbuhnya kapang dan menurunkan reaksi enzimatik sehingga dapat menghindari
terjadinya penurunan mutu atau pengrusakan simplisia (Gunawan dan Mulyani, 2004). Serbuk simplisia herba alfalfa sebesar 1576,2 gram
diperoleh dari 13,5 Kg herba alfalfa segar. Serbuk simplisia herba alfalfa yang
digunakan dalam penelitian sebesar 606,4 gram. Serbuk herba alfalfa diekstraksi menggunakan metode sokletasi. Metode ini
membutuhkan bahan pelarut dalam jumlah kecil (Voigt, 1994). Pemilihan etanol sebagai
larutan penyari dikarenakan etanol dapat menyari hampir semua jenis senyawa aktif terekstraksi, yaitu senyawa yang
bersifat polar, semi polar, hingga non polar. Ekstrak kental yang dihasilkan dalam penelitian ini sebanyak 113,6 gram, sehingga rendemen hasil yang
diperoleh adalah 18,73 % dengan
kekentalan sebesar 100 cPa.s. Secara makroskopis ekstrak etanol herba alfalfa
berwarna hijau kehitaman dengan bau seperti gula-gula kacang.
Ekstrak
kental yang digunakan untuk fraksinasi sebesar 50 gram. Fraksi etil asetat yang diperoleh setelah
diuapkan
adalah 548 mg dengan rendemen sebesar 1,09 %. Rendemen yang
diperoleh pada proses pembuatan larutan uji sangat kecil karena proses
fraksinasi dilakukan secara bertingkat sehingga senyawa aktif telah banyak
tersari pada pelarut sebelumnya. Proses fraksinasi dilakukan
secara bertingkat dengan pelarut n-heksan, kloroform, dietil
eter, dan etil asetat. Metode partisi cair-cair bertujuan untuk memisahkan senyawa berdasarkan kelarutannya artinya memisahkan senyawa yang terlarut dalam n-heksan, kloroform, dietil eter dan
etil asetat.
Uji Sitotoksisitas
1.
Uji Sitotoksisitas Fraksi
Etil Asetat Ekstrak Etanol Herba Alfalfa terhadap Sel T47D
Fraksi uji pada penelitian ini menunjukkan efek
sitotoksik yang rendah terhadap sel T47D
meskipun perlakuan fraksi uji
pada konsentrasi tertinggi yaitu 1000 µg/ml menyebabkan kematian
terhadap sel T47D. Sel T47D yang hidup berbentuk memanjang seperti daun
sedangkan yang mati berbentuk bulat (Gambar 1). Tabel I menunjukkan hasil uji sitotoksisitas fraksi uji terhadap sel T47D dengan
berbagai seri konsentrasi. Data analisis probit dari persentase kehidupan sel
diperoleh nilai IC50 sebesar 1893,4 µg/ml.
C B A
Gambar
1. Efek Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Herba Alfalfa terhadap Sel
T47D.
(A) Kontrol
sel T47D
(B) Kontrol
positif, doksorubisin konsentrasi 20 µg/ml
(C) Perlakuan
fraksi etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa 1000 µg/ml terhadap sel
T47D
Sel T47D hidup
Sel T47D
yang mati
Nilai IC50
doksorubisin dalam penelitian ini tidak dapat dihitung karena data persentase kehidupan sel
yang didapat di bawah 50 %, bahkan pada konsentrasi terendah (2,5 µg/ml) masih menunjukkan
persentase kehidupan sel yang rendah yaitu 16,1 % (Tabel II). Bila dilihat dari nilai
persentase kehidupan sel pada perlakuan doksorubisin maka persentase kehidupan
sel pada fraksi uji jauh lebih besar. Bisa
disimpulkan bahwa potensi fraksi uji masih terlalu jauh
dibandingkan kontrol positifnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa doksorubisin memiliki efek
sitotoksik terhadap sel T47D yang lebih besar dibandingkan dengan efek
sitotoksik senyawa uji.
Tabel I.
Hasil Uji Sitotoksisitas Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Herba Alfalfa
terhadap Sel T47D
Konsentrasi
larutan uji (µg/ml) |
Persentase
kehidupan sel T47D (%) |
Probit |
IC50 |
1000 |
88,9 |
8,8 |
|
500 |
93,9 |
9,7 |
1893,4 µg/ml |
250 |
106,8 |
9,8 |
|
125 |
114,3 |
|
|
62,5 |
102,5 |
|
|
Tabel II. Hasil Uji Sitotoksisitas Doksorubisin terhadap Sel T47D
Konsentrasi
doksorubisin (µg/ml) |
Persentase kehidupan
sel T47D (%) |
20 |
13,3 |
10 |
13,6 |
5 |
14,0 |
2,5 |
16,1 |
Doksorubisin merupakan senyawa
tunggal yang berfungsi sebagai antikanker (Nafrialdi
dan Ganiswarna, 1995). Sementara fraksi uji kemungkinan besar terdiri dari
beberapa senyawa sehingga efek sitotoksik belum terlalu dominan. Potensi
sitotoksisitas yang rendah tersebut diduga diakibatkan karena sedikitnya
kandungan senyawa aktif flavonoid pada larutan uji.
2.
Uji Sitotoksisitas Fraksi
Etil Asetat Ekstrak Etanol Herba Alfalfa terhadap Sel HeLa
Hasil uji
sitotoksisitas fraksi etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa terhadap sel
HeLa dengan metode MTT assay dapat
dilihat pada gambar 2.
C B A
Gambar 2. Efek Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Herba Alfalfa terhadap Sel HeLa.
(A)
Kontrol sel HeLa
(B)
Perlakuan
doksorubisin dengan konsentrasi 5 µg/ml
(C)
Perlakuan fraksi
etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa 1000 µg/ml
terhadap sel
HeLa
sel HeLa hidup
sel HeLa yang mati
Tabel III menunjukkan bahwa pada konsentrasi rendah tidak
terdapat sel yang mati namun fraksi uji pada konsentrasi 1000 µg/ml
memperlihatkan adanya kematian sel. Analisis
probit digunakan untuk membuat kurva yang sigmoid menjadi linier, namun karena
persentase kehidupan sel pada fraksi uji sebagian besar lebih dari 100%, maka
analisis probit tidak bisa digunakan.
Tabel III. Hasil Uji Sitotoksisitas
Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Herba Alfalfa
terhadap Sel HeLa.
No |
Konsentrasi larutan uji (µg/ml) |
% Kehidupan Sel |
1 |
62,5 |
103,3 |
2 |
125 |
104,3 |
3 |
250 |
101,6 |
4 |
500 |
106,2 |
5 |
1000 |
96,7 |
Tabel IV.
Hasil Uji Sitotoksisitas Doksorubisin terhadap Sel HeLa
Konsentrasi
doksorubisin (µg/ml) |
Persentase
kehidupan sel HeLa (%) |
Probit |
IC50 |
5 |
47,2 |
4,2 |
|
2,5 |
47,2 |
5,6 |
|
1,25 |
56,9 |
6,4 |
3,6 µg/ml |
0,625 |
66,4 |
6,7 |
|
0,3125 |
79,8 |
6,9 |
|
Kontrol
positif doksorubisin terhadap sel HeLa memiliki nilai IC50 3,6 µg/ml (Tabel IV).
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa fraksi uji tidak memiliki
efek sitotoksik terhadap sel
kanker leher rahim (sel
HeLa) meskipun pada
konsentrasi 1000 µg/ml mengakibatkan kematian sel, namun tidak signifikan.
Uji Kandungan Kimia
Uji pendahuluan dilakukan sebagai awal identifikasi
golongan senyawa aktif dalam fraksi etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa.
Hasil uji flavonoid pada uji pendahuluan menggunakan FeCl3
menghasilkan warna yang lebih intens dari warna semula, yang awalnya berwarna
kuning jernih berubah menjadi kuning orange (Gambar 3). Perubahan warna yang
terjadi menandakan bahwa larutan uji mengandung senyawa turunan fenolik.
Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol alam (Harborne, 1987).
Perubahan warna yang terjadi pada larutan uji dikarenakan adanya gugus hidroksi
pada inti aromatis yang bisa berikatan dengan Fe.
Keterangan: A = fraksi uji + etanol
96% B = fraksi uji + etanol
96% + FeCl3 A B
Gambar 3. Uji
Flavonoid dengan Pereaksi FeCl3 terhadap Larutan Uji
Berdasarkan
hasil uji pendahuluan yang sudah dilakukan sebelumnya, maka uji KLT dilakukan
untuk identifikasi flavonoid. Uap amoniak digunakan sebagai pereaksi penampak
bercak untuk memberikan suasana basa pada bercak supaya dapat terdeteksi secara
visibel maupun di bawah sinar ultraviolet. Flavonoid akan membentuk warna
kuning atau orange dengan pereaksi amoniak secara visibel (Wagner dan Bladt,
1995) seperti terlihat pada gambar 4. Pembanding yang digunakan yaitu
kuersetin. Kuersetin dan glikosidanya berada dalam jumlah sekitar 60-75% dari
total jumlah flavonoid yang ada (Harborne, 1987). Tujuan penggunaan pembanding
kuersetin dalam uji ini hanya untuk menegaskan adanya senyawa flavonoid dalam
senyawa uji.
Pengamatan
dilakukan secara visibel dan di bawah sinar UV 366 nm sebelum dan sesudah
diuapi amoniak. Bercak sampel terlihat coklat kekuningan pada pengamatan secara
visible. Bercak sampel terlihat berfloresensi biru muda di bawah sinar UV 366
nm sebelum diuapi amonia, namun terjadi perubahan flouresensi menjadi warna
murup biru muda setelah diuapi amonia. Diduga, flavonoid yang terkandung adalah
isoflavon (Riyanto, 1989). Isoflavon memberikan warna biru muda cemerlang
setelah diuapi ammonia bila dilihat di bawah sinar UV (Harborne, 1987 ).
Kandungan isoflavon pada akar alfalfa telah dinyatakan pada penelitian Tiller
(1994). Kromatogram sampel menunjukkan nilai
Rf sebesar
0,775 sedangkan Rf pembanding
kuersetin sebesar 0,625 sehingga Rf sampel lebih besar dari Rf pembanding. Hasil KLT membuktikan
bahwa fraksi uji mengandung flavonoid sehingga golongan senyawa yang
menyebabkan efek sitotoksik terhadap sel T47D kemungkinan adalah flavonoid,
namun untuk sel HeLa tidak menimbulkan efek sitotoksik.
C B A
Gambar 4. Kromatogram Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol
Herba Alfalfa (S) dan Pembanding Kuersetin (P)
Keterangan:
A. Pengamatan secara visibel
B. Pengamatan pada sinar UV 366 nm sebelum diuapi amoniak
C. Pengamatan pada sinar UV 366 nm setelah diuapi amoniak
Fase Diam : Selulosa
Fase Gerak : Butanol-Asam Asetat-Air (7:1:2)
Beberapa mekanisme
flavonoid dalam melawan kanker adalah: (1) sebagai antioksidan, (2) menekan
produksi prostaglandin E2 (Winarsi, 2005). Beberapa penelitian juga telah
menyebutkan tentang efek antikanker terkait dengan kandungan flavonoid yang ada
pada tumbuhan lain, yaitu: Penelitian pada tanaman sambung nyawa sebagai agen
kemopreventif. Pada penelitian tersebut flavonoid diduga bertanggung jawab atas
efek kemopreventif yang ditimbulkan, ekstrak etanolik daun sambung nyawa telah
terbukti dapat menghambat proliferasi sel HeLa dan sel T47D serta memacu terjadinya
apoptosis (Setiawati dkk., 2007)
KESIMPULAN DAN
SARAN
Kesimpulan
1.
Fraksi etil
asetat dari ekstrak etanol herba alfalfa mempunyai efek sitotoksik terhadap sel
T47D namun tidak memiliki efek sitotoksik pada sel HeLa.
2.
Nilai IC50
fraksi etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa terhadap sel T47D sebesar 1893,4 µg/ml.
3.
Fraksi etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa
mengandung flavonoid.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian untuk mengisolasi flavonoid
dari herba alfalfa yang memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara.
2. Perlu dilakukan uji sitotoksisitas senyawa flavonoid
fraksi etil asetat ekstrak etanol herba alfalfa terhadap sel-sel kanker lainnya
seperti sel MCF-7, sel WiDr, agar diketahui keefektifan dari senyawa uji pada
sel kanker lain.
DAFTAR PUSTAKA
Andersen, Q.M., and Markham, K.R.,
2006, Flavonoid; Chemistry, Biochemistry
and Applications,CRC Press, USA, 2
Astawan, M., dan Kasih, A.L., 2008, Khasiat Warna Warni Makanan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 212-214
Bo-ping, W., Yong-mei, Z., Zhi-Zhong,
C., and Yong-zhil, T., 2010, Study on Extraction
of Flavonoids in Alfalfa Assisted
With Ultrasonic Wave,
Acta Agrestia Sinica, 6
CCRC., 2010, Standard Operating Procedure, Cancer Chemoprevention Research
Cancer Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Gunawan, D., dan Mulyani, S., 2004, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi), Jilid I,
Cetakan I, Penebar Swadaya, Jakarta, 12-13
Harborne, J. B., 1987, Metode
Fitokimia;Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, Penerbit ITB,
Bandung, 13, 47, 49, 69
Hong, Y., Wang, S., Hsu, C., Lin, B.,
Kuo, Y., and Huan, C., 2011, Phytoestrogenic Compounds in Alfalfa Sprout (Medicago Sativa ) Beyond Coumestrol, J. Agri. Food Chem, 59, 131-137
Newall, C.A., Anderson, L.A., and
Phillipson, J.D., 1996, Herbal Medicine; A Guide for Health-care
Professionals, The Pharmaceutical Press, London, 23
Riyanto, S., 1989, Flavonoid, dalam
Mursyidi, A., Analisis Metabolit Sekunder,
PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 304
Setiawati, A., Endah, P.S., Titi,
R.W., dan Rifki, R., 2007, Sambung Nyawa (Gynura
Procumbens (Lour.) Merr.) Sebagai Agen Kemopreventif, Pharmacon, 5, 1-12
Tiller, S.A., Parry, A.D., and
Edwards, R., 1994, Change In The Accumulation of Flavonoid and Isoflavonoid
Conjugates Associated With Plant Age and Nodulation In Alfalfa, Physiologia Plantarum, 91, 27-36
Voigt, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan oleh Soendani Noerono Soewandhi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 135, 570-571
Wagner, H., and Bladt, S., 1995, Plant Drug Analysis- A Thin Layer Chromatography Atlas, Second Edition,
Springer, German, 196-197
Winarsi, H., 2005, Isoflavon, Gadjah Mada University Press,
Yogjakarta, 53, 58