UJI
AKTIVITAS ANTIFUNGI MINYAK ATSIRI RIMPANG
TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza Roxb.)
SECARA IN VITRO TERHADAP Candida albicans
Heru Sudrajad, Firman Al Azar
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional
Badan Penelitian dan Pengembang Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI
ABSTRAK
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan
tanaman obat-obatan yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae) sering
dimanfaatkan masyarakat baik sebagai bumbu masakan maupun digunakan sebagai
bahan obat.Temu lawak diketahui mengandung senyawa kimia kurkuminoid dan minyak
atsiri. Negara Indonesia memiliki iklim
tropis dengan udara lembab dan panas. Jamur merupakan salah satu
penyebab infeksi terutama di negara-negara tropis. Tujuan penelitian untuk
mengetahui aktivitas minyak atsiri rimpang temu lawak terhadap pertumbuhan
jamur Candida albicans. Penelitian
dengan menggunakan konsentrasi minyak atsiri masing-masing 0,25; 0,3; 0,35; 0,4;
0,45 dan 0,5%. Ketokonazol 2% dan metanol sebagai baku pembanding kontrol
positif dan negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri rimpang
temu lawak dapat menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans. Semakin besar konsentrasi maka rata-rata diameter
pertumbuhan jamur semakin menurun. Dari
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa minyak atsiri konsentrasi 0,25 sampai
0,5% dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans. Diamater daya hambat
paling besar diperoleh pada minyak atsiri rimpang temu lawak dengan konsentrasi 0,5% dan diamater daya
hambat paling kecil diperoleh dari minyak atsiri rimpang temulawak dengan
konsentrasi 0,25%.
Kata kunci: Curcuma xanthorriza Roxb., Candida albicans,minyak atsiri, invitro
PENDAHULUAN
Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat-obatan yang tergolong dalam suku
temu-temuan (Zingiberaceae) sering dimanfaatkan masyarakat baik sebagai bumbu
masakan maupun digunakan sebagai bahan obat.
Temulawak merupakan komponen penyusun hampir setiap
jenis obat tradisional yang dibuat di Indonesia. Hasil survei pemanfaatan
tanaman obat dalam industri obat tradisional menunjukkan bahwa temulawak
dipergunakan sebagai bahan baku 44 jenis produk obat tradisional. Penggunaan
temulawak mengalami perkembangan, dimulai dari sediaan obat tradisional,
melalui sediaan obat herbal terstandar, akhirnya menjadi sediaan fitofarmaka. Saat ini total serapan
temulawak dalam industri obat tradisional dan obat fitofarmaka diperkirakan
mencapai 8.750 ton/tahun (Kemala et al.,
2004).
Temulawak diketahui mengandung senyawa kimia yang
mempunyai keaktifan fisiologi, yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid
terdiri atas senyawa berwarna kuning kurkumin dan turunannya. Kurkuminoid yang
memberi warna kuning pada rimpang bersifat antibakteria, antikanker, antitumor
dan antiradang, mengandung antioksidan dan hypokolesteromik. Sedangkan minyak
atsiri berbau dan berasa yang khas. Kandungan minyak atsiri pada rimpang
temulawak 3-12% Sedangkan untuk kurkuminoid, dalam temulawak 1-2%. Untuk
menentukan persentase ini dilakukan pemanasan pada temperatur 50-55oC,
supaya tidak merusak zat aktifnya dan untuk mendapatkan warna yang baik dari
kurkuminoid (Parahita, 2007).
Minyak atsiri pada rimpang temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) mengandung siklo-isoren, mirsein, d-kamfer p-tolil
metilkarboni, zat warna kurkumin, felandrena, turmerol dan pati (Soesilo,
1989).
Negara Indonesia memiliki iklim
tropis dengan udara lembab dan panas. Dengan suasana yang demikian apabila
hygenis lingkungan kurang diperhatikan, lingkungan yang padat dan sosio ekonomi
yang rendah maka infeksi fungi akan mudah menyerang. Salah satu fungi yang
menyerang yaitu Candida albicans.
Candida albicans adalah sebuah jamur
seksual diploid (sebuah bentuk ragi), dan merupakan agen penyebab infeksi oral
dan vaginal oportunis pada manusia. Infeksi-infeksi jamur sistemik (fungemia)
telah menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada pasien yang
terganggu sistem kekebalannya (seperti pasien AIDS, kemoterapi kanker,
transplantasi organ atau sumsum tulang). Disamping itu infeksi terkait rumah sakit
pada pasien yang sebelumnya tidak dianggap berisiko (seperti pasien yang dirawat
di unit perawatan intensif) telah menjadi salah satu penyebab kekhawatiran kesehatan
utama (Masdin, 2010).
Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit
terutama di negara-negara tropis. Penyakit kulit akibat jamur merupakan
penyakit kulit yang sering muncul di tengah masyarakat Indonesia. Dicarilah solusi
pengobatan yang tepat terhadap infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans dengan bahan yang mudah didapat oleh masyarakat
luas dan harganya juga terjangkau. Karena itu dilakukan penelitian uji
aktifitas antifungi minyak atsiri rimpang temulawak secara invitro terhadap Candida albicans.
METODOLOGI
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu rimpang temulawak, Candida albicans, methanol, PDA (Potato
Dextrose Agar), aquades, vanillin, toluene, asam sulfat pekat, etil asetat,
silika Gel GF 254, kertas cakram, NaCl 0,9% dan ketokonazol 2%.
Alat Penelitian
Alat yang digunakan yaitu labu alas bulat 5000 ml,
kondensor, stahl destilasi, beaker glass 50 ml, 500 ml, gelas ukur 10 ml,
erlenmeyer 500 ml, pipet, botol vial, timbangan analitik, timbangan digital,
oven, lampu UV, cawan petri, tabung reaksi, hot plate, magnetic stirrer,
autoclave, LAF, mikropipet.
Jalannya Penelitian
Penelitian dilakukan di
Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional Tawangmangu. Pelaksanaan penelitian dimulai penyulingan minyak atsiri dengan metode Stahl
Destilasi. Selanjutnya minyak atsiri dianalisis dengan KLT. Penyiapan uji antijamur yaitu dengan
pembuatan media PDA (Potato Dextro Agar), identifikasi jamur uji dan penyiapan
mikroba uji, pembuatan suspensi jamur dan pengujian antijamur menggunakan
minyak atsiri dengan konsentrasi masing-masing 0,25; 0,3; 0,35; 0,4;
0,45 dan 0,5%. Ketokonazol 2% dan metanol sebagai baku pembanding kontrol
positif dan negatif dengan Metode
Difusi Cakram. Kemudian data dianalisis dengan Uji One-Way Anova.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Rendemen Minyak Atsiri
Penyulingan minyak atsiri dari
tanaman dalam skala laboratorium diperlukan untuk mengetahui mutu bahan yang
mengandung minyak atsiri, yang akan diusahakan secara komersial (Ketaren,
1985). Penetapan rendemen minyak atsiri rimpang temulawak menggunakan alat destilasi
stahl. Berat rimpang temulawak yang digunakan sebanyak 2 kg dan penyulingan
dilaksanakan selama 4-6 jam, dimaksudkan supaya minyak atsiri yang terdapat
dalam rimpang temulawak benar-benar tersuling. Rendemen minyak atsiri dihitung
sebagai perbandingan antara volume minyak atsiri hasil penyulingan terhadap
bobot bahan yang didestilasi. Rendemen minyak atsiri rimpang temulawak dengan
dua kali perlakuan dapat dilihat pada Tabel I.
Tabel I. Hasil pengukuran rendemen minyak atsiri
rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
Parameter |
Pengukuran |
|
I |
II |
|
·
Berat yang ditimbang (g) ·
Volume minyaki atsiri (ml) ·
Rendemen (% v/b) |
1000 4 0,4 % |
1000 5,2 0,52 % |
Keterangan : rata-rata rendemen
minyak atsiri 0,46% (v/b).
Berdasarkan hasil yang
diperoleh dapat diketahui bahwa rata-rata rendemen minyak atsiri rimpang temulawak yang
diperoleh yaitu 0,46% v/b.
2.
Hasil kromatografi lapis
tipis
Hasil penelitian kromatografi lapis tipis minyak atsiri
rimpang temulawak dapat dilihat pada Tabel II.
Tabel II.
Hasil Perhitungan Rf Minyak Atsiri dari KLT
No. |
Rf |
Kenampakan warna spot |
|||
|
|
Tampak Mata |
UV 254 |
Reagen H2SO4 : Vanillin (5:1) |
|
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. |
Rf1 Rf2 Rf3 Rf4 Rf5 Rf6 Rf7 Rf8 |
0,11 0,36 0,45 0,51 0,59 0,65 0,71 0,74 |
Kuning - - - - - - - |
Abu-abu
kemerahan Abu-abu
kemerahan - - Abu-abu kemerahan Abu-abu Abu-abu Abu-abu kemerahan |
Abu-abu Biru muda Abu-abu kemerahan Biru kehijauan Putih tulang Ungu Kuning Merah muda |
A B
Gambar 1. Hasil kromatografi lapis tipis minyak
atsiri rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
Keterangan A =
Kenampakan kromatogram dilihat di bawah sinar UV 254 nm
B = Kenampakan kromatogram setelah di semprot dengan
Etanol Asam
sulfat : Etanol Vanilin
(5:1)
Pemeriksaan dengan menggunakan KLT ini dimaksudkan sebagai data pendukung
untuk mengetahui senyawa dari minyak atsiri yang berkhasiat sebagai antifungi.
Uji pendahuluan KLT dilakukan untuk menentukan fase gerak yaitu menggunakan
fase gerak Etanol Asam sulfat : Etanol Vanilin (5:1) dan memberikan hasil pemisahan yang terbaik.
Hasil kromatografi lapis tipis menunjukkan komponen penyusun minyak atsri
rimpang temulawak yang diambil dari
kebun pada ketinggian ± 600 m dpl dapat dilihat dari jumlah spot dan Rf
hasil kromatografi. Berdasarkan hasil tersebut dapat pula diduga bahwa komponen
penyusun minyak atsiri rimpang temulawak
minimal tersusun dari delapan komponen minyak atsiri dengan Rf
minimal sebesar 0,11 dan Rf maksimal sebesar 0,74.
Berdasarkan spot yang muncul pada plat KLT, spot dengan Rf
sebesar 0,74 diduga senyawa tersebut merupakan senyawa dominan dalam minyak
atsiri rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.), dimana dugaan
ini didasari oleh ukuran spot yang lebih besar apabila dibandingkan dengan
ukuran spot yang lain.
3. Uji
antifungi rimpang temulawak
Uji aktivitas
antifungi bertujuan untuk mengetahui daya hambat minyak atsiri rimpang temulawak
terhadap jamur Candida albicans. Uji
aktivitas antifungi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
difusi. Media yang digunakan dalam uji aktivitas antifungi adalah PDA (Potato
Dextro Agar dengan jamur Candida
albicans.
Hasil dari daya
hambat diperoleh dengan melakukan uji aktivitas antifungi menggunakan minyak
atsiri yang dilarutkan dengan pelarut metanol, minyak atsiri berbagai
konsentrasi yaitu 0,25%, 0,3%, 0,35%, 0,4%, 0,45% dan 0,5%.
Dari Gambar 3
histogram hasil pengujian DDH (Diameter Daerah Hambat) pertumbuhan jamur Candida albicans yang diberi perlakuan
uji minyak atsiri dengan berbagai konsentrasi setelah diinkubasi selama 2 x 24
jam diketahui bahwa diameter pertumbuhan jamur pada setiap konsentrasi
perlakuan mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan konsentrasi minyak
atsiri rimpang temulawak. Pada perlakuan ketokonazol diameter pertumbuhan jamur
sama dengan perlakuan uji pada minyak atsiri 0,5%.
Gambar 2.Histogram
hubungan konsentrasi ketokonazol dan minyak atsiri rimpang temu lawak (Curcuma
xanthorriza roxb.) terhadap diameter daya hambat (mm)
Keterangan A
: Ketokonazol 2% E
: Minyak Atsiri 0,4%
B
: Minyak Atsiri 0,25% F
: Minyak Atsiri 0,45%
C
: Minyak Atsiri 0,3% G
: Minyak Atsiri 0,5%
D : Minyak Atsiri
0,35%
Adanya hambatan dari minyak atsiri rimpang temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans karena adanya senyawa-senyawa yang terkandung di
dalam minyak atsiri temulawak yang mempunyai sifat antifungi. Hasil dari uji
kontrol minyak atsiri temulawak serta hasil uji hambatan dari beberapa
konsentrasi minyak atsiri temu lawak dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4 berikut.
Gambar 3. Hasil uji daya hambat minyak atsiri rimpang
temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dengan kontrol positif dan
negatif
Keterangan A
: Ketokonazol 2% (Kontrol Positif)
B : Minyak Atsiri 0,45%
C : Minyak Atsiri 0,5%
D : Metanol (Kontrol Negatif)
Gambar 4. Hasil uji daya hambat beberapa konsentrasi
minyak atsiri rimpang temu lawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
Keterangan
A : Minyak Atsiri 0,4% ; B : Minyak Atsiri 0,35%
C : Minyak
Atsiri 0,3% ; D : Minyak
Atsiri 0,25 %
Gambar di atas menunjukkan
bahwa semakin besar konsentrasi minyak atsiri rimpang temulawak maka diameter
daya hambat akan semakin besar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Minyak atsiri rimpang
temulawak dibuat konsentrasi 0,25 ; 0,3 ; 0,35 ; 0, 4 ; 0,45 , dan 0,5% dapat
memberikan hambatan pada pertumbuhan Candida
albicans.
2. Diamater daya hambat
paling besar di peroleh dari minyak atsiri rimpang temulawak dengan konsentrasi
0,5% dan setara dengan ketokonazol.
Saran
Perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut minyak atsiri rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
dengan metode dilusi dan bioautografi, perbandingan antara ekstrak dan minyak
atsiri temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) dengan berbagai konsentrasi serta menggunakan mikroba
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Gerai, 2007. Seribu
Khasiat Temu lawak. Majalah Farmacia. Edisi April (Vol.6 No.9), Halaman: 28
(1813 hits).
Guenther, E., 1987. Minyak Atsiri.Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Harborn,
J. B., 1987, Metode Fitokimia Penuntun
Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. diterjemahkan oleh Padmawinata, K., dan
Soediro. ITB. Bandung.
Ketaren
S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak
Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta.
Lay, Bibiana W, Sugyo Hastowo. 1992. Mikrobiologi. Cetakan pertama. CV
Rajawali. Jakarta..
Moffat, A.C.. (1986). Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. Second Edition.
London. The Pharmaceutical Press. Page 633.
Sastrohamidjojo,
H., 1991. Kromatografi. Edisi II.
Liberty Press.Yogyakarta.
Sastrohamidjojo,
H., 2004, Kimia Minyak Atsiri.
Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta
Sundari, D & M. Wien
Winarno., 2001. Informasi Tumbuhan Obat
Sebagai Anti Jamur. Pusat Penelitian dan Pengembangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Depkes RI. Jakarta.
Soesilo,.
S., 1989. Vademekum Bahan Obat Alam.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Tjampakasari, Conny Riana., 2006. Karakteristik Candida albicans. Staf
Pengajar Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.