PENGARUH CARA EKSTRAKSI TERHADAP KADAR SARI

DAN KADAR SYLIMARIN DALAM BIJI Silybum marianum (L.) GAERTN.

 

Nita Supriyati, Ika Yanti M. Sholikhah

Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional

Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan

Jl. Raya Lawu No. 11 Tawangmangu, Karanganyar

nita_supriyati@yahoo.com

 

ABSTRAK

 

Silybum marianum (L.) Gaertn.atau dikenal dengan nama milk thistle digunakan dalam pengobatan hepatitis kronik dan akut serta sirosis yang disebabkan alkohol, obat-obatan maupun racun. Komponen aktif yang terdapat dalam marianum adalah silymarin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara ekstraksi yang tepat dari biji marianum dengan berbagai metode ekstraksi sederhana. Serbuk biji marianum diekstraksi dengan cara seduh, maserasi, infusa, dan dekokta dengan pelarut air kemudian dihitung kadar sari dan kadar silymarin. Dari hasil penelitian diketahui bahwa cara ekstraksi tidak berpengaruh terhadap kadar sari yang diperoleh, namun berpengaruh terhadap kadar silymarin dari ekstrak biji marianum (L.) Gaertn. Kadar silymarin tertinggi diperoleh dengan cara dekokta yaitu 0,44 ± 0,05%.

 

Kata kunci : Silybum marianum (L.) Gaertn, cara ekstraksi, silymarin, kadar sari.

 

PENDAHULUAN

 

Silybum marianum atau silibum merupakan salah satu tanaman tertua untuk pengobatan penyakit hati. Tanaman dari famili Asteraceae ini telah digunakan selama berabad-abad sebagai obat alami untuk mengatasi berbagai penyakit hati dan saluran empedu, terutama sirosis, jaundice, dan hepatitis. Silibum dapat digunakan untuk melindungi dan membersihkan hati dari senyawa-senyawa toksik seperti alkohol, obat, merkuri, logam berat, dan pestisida (Pradhan and Girish, 2006; Negi, et al., 2008, Sidana, et al., 2011).

Komponen aktif dari Silybum marianum paling banyak diperoleh dari biji kering yang mengandung 70-80% silymarin dan 20-30% polimer serta polifenol teroksidasi. Silymarin merupakan campuran kompleks dari 4 isomer flavolignan yang terdiri dari silibin, isosilibin, silidianin, dan silikristin (Dixit, et al., 2007;Ghosh, et al., 2010). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa silymarin memiliki aktivitas sebagai antioksidan untuk mencegah kerusakan hati, antikarsinogenesis, antiinflamasi, antifibrosis, dan immunomodulator (Dixit et al., 2007; Radko and Cybulski, 2007; Shaker, et al., 2010; Ghosh, et al., 2010). Secara klinis, silymarin sudah digunakan sebagai terapi untuk berbagai macam kelainan hati meliputi hepatitis, sirosis, penyakit hati karena obat dan alkohol, psorias, serta keracunan jamur Amanita (Radko and Cybulski, 2007; Ghosh, et al., 2010). Silymarin dilaporkan memiliki profil keamanan yang sangat bagus. Uji pada hewan maupun manusia menunjukkan bahwa silymarin tidak toksik meskipun diberikan pada dosis tinggi yaitu lebih dari 1500 mg/hari (Ghosh, et al., 2010).

Proses ekstraksi bertujuan untuk memperoleh kandungan aktif dari suatu bahan alam dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Berbagai teknik ekstraksi telah berkembang dengan didukung alat-alat yang modern. Namun demikian teknik ekstraksi sederhana masih sering dilakukan terutama oleh masyarakat umum seperti menyeduh atau merebus tanaman obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara penyiapan biji silibum dengan teknik ekstraksi sederhana yaitu cara seduh, maserasi, infusa, dan dekokta terhadap kadar sari dan kadar silymarin. Pelarut yang digunakan adalah air, mengacu pada penggunaan umum di masyarakat.

 

A                                                          B

 
IMG_0262.JPG

 

Gambar 1. Silybum marianum, biji (A), tanaman (B)

 

METODOLOGI

 

Bahan dan Jalannya Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juni – Juli 2011 di Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Biji Silybum marianum diperoleh dari kebun koleksi B2P2TO2T Tawangmangu yang terletak di ketinggian ± 1200 m di atas permukaan laut. Biji Silybum marianum yang telah kering dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk halus, lalu diayak menggunakan ayakan dengan ukuran 40 mesh.

Ekstraksi dilakukan dengan cara seduh, maserasi, infusa, dan dekokta menggunakan pelarut air dengan perbandingan berat serbuk dan pelarut adalah 1:10. Penyeduhan dilakukan dengan menambahkan air mendidih ke dalam gelas beker berisi 5 g serbuk biji silibum disertai pegadukan. Setelah dingin seduhan disaring ke dalam labu takar dan ditambahkan akuades hingga volume 50 ml. Maserasi dilakukan semalam 24 jam dengan pengadukan secara berkala. Sediaan infusa diperoleh dengan cara memanaskan serbuk biji silibum dan akuades dalam panci infusa selama 15 menit dihitung sejak air yang ada dalam panci luar mendidih. Sediaan dekokta diperoleh dengan cara seperti pada sediaan infusa namun dengan waktu pemanasan selama 30 menit.

Masing-masing sediaan yang diperoleh kemudian diuapkan hingga kering kemudian dimasukkan oven suhu 105° C hingga bobot tetap (Materia Medika, 1979). Penetapan kadar sari ditentukan dengan rumus berikut:

% kadar sari larut air =    , dimana w2 adalah berat cawan ditambah ekstrak, w1 adalah berat cawan kering, dan A adalah berat sampel dalam satuan gram.

Penetapan kadar silymarin dilakukan menggunakan metode KLT-densitometri dengan pelat TLC GF254 (Merck). Standar silymarin yang digunakan diperoleh dari Sigma Aldrich, dilarutkan dalam pelarut etanol. Eluen yang digunakan adalah kloroform:aseton:asam format (9:2:1). Analisis densitometri dilakukan pada panjang gelombang 290 nm. Kadar silymarin dalam ekstrak ditentukan dengan menginterpolasikan luas area bercak pada persamaan kurva regresi silymarin standar. Persentase kadar silymarin dihitung dengan persamaan berikut:

 , dimana S adalah kadar silymarin terukur, V1 adalah volume penotolan, V2 adalah volume total ekstrak, dan w adalah berat serbuk biji Silybum marianum.

Perbedaan kadar sari dan kadar silymarin dianalisis secara statistik dengan uji analisis varian (ANOVA) satu jalan dengan program komputer. Taraf signifikansi ditentukan sebesar 95% CI (p < 0,05).

 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

Penentuan kadar sari larut air atau rendemen ekstrak air dilakukan untuk mengetahui berapa banyak senyawa yang larut dalam pelarut air yang dinyatakan dalam persen. Hasil penentuan kadar sari serbuk biji Silybum marianum dengan berbagai macam metode ekstraksi ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2.     Persentase kadar sari biji Silybum marianum dengan berbagai macam metode ekstraksi.

 

Dari grafik pada gambar tersebut diketahui bahwa persentase kadar sari larut air tertinggi diperoleh dengan metode ekstraksi dekokta yaitu 16,379 ± 0,847 %. Namun dari hasil analisis statistik diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna antar kelompok ekstraksi. Dari data tersebut diketahui bahwa adanya proses pemanasan pada teknik ekstraksi (dekokta dan infusa) tidak berpengaruh terhadap rendemen kadar sari yang dihasilkan.

            Penentuan kadar silymarin dalam ekstrak biji Silybum marianum dilakukan dengan metode KLT-densitometri. Hasil penetapan kadar silymarin dengan berbagai macam metode ekstraksi ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3.     Persentase kadar silymarin dalam ekstrak biji Silybum marianum dengan berbagai macam metode ekstraksi.

           

Berdasarkan grafik pada gambar 3 di atas, diketahui bahwa kadar silymarin tertinggi diperoleh dengan metode ekstraksi dekokta yaitu 0,437 ± 0,05%. Hasil uji ANOVA satu jalan menunjukkan  bahwa kadar silymarin dari berbagai kelompok ekstraksi memiliki perbedaan yang bermakna (p< 0,05). Hasil uji post hoc menunjukkan bahwa perbedaan bermakna nampak pada semua kelompok perlakuan, kecuali antara kelompok ekstraksi dekokta dan infusa. Dari data yangdiperoleh tampak bahwa adanya pemanasan berpengaruh pada kadar silymarin yang diperoleh. Pada penelitian ini, kadar silymarin dari hasil ekstraksi dekokta dan infusa relatif sama karena kedua metode ekstraksi tersebut menggunakan suhu yang sama namun dengan waktu pemanasan yang berbeda. Dari penelitian ini dapat diinformasikan bahwa penerapan teknik ekstraksi sederhana dapat digunakan untuk mendapatkan ekstrak yang mengandung silymarin. Penggunaan air dalam ekstraksi sylimarin juga dilakukan oleh Duan et al (2004). Penelitian tersebut mengeksplorasi penggunaan air panas sebagai pelarut pada suhu di atas 100°C. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kadar silymarin dan taxifolin tidak meningkat seiring dengan naiknya suhu. Hal ini diduga karena adanya degradasi dari komponen tersebut. Degradasi komponen silymarin dan kinetika degradasi orde satu dapat diamati pada suhu 140°C.

 

KESIMPULAN

 

1.      Cara ekstraksi tidak berpengaruh terhadap kadar sari dalam ekstrak air biji Silybum marianum

2.      Cara ekstraksi berpengaruh terhadap kadar silymarin dalam ekstrak air biji Silybum marianum.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Materia Medika Jilid III. 1979. Departemen Kesehatan RI. Jakarta

Duan, L., DJ Carrier , EC Clausen. 2004.  Silymarin extraction from milk thistle using hot water. Appl Biochem Biotechnol. 113-116:559-68.

Dixit, N., S. Baboota, K. Kohli, S. Ahmad, J. Ali. 2007. Silymarin: A Review of Pharmacological Aspects and Bioavailability Enhancement Approaches. Indian J Pharmacol  39(4): 172-179.

Ghosh, A., T. Ghosh, and S. Jain. 2010. Silymarin-A Review on The Pharmacodynamics and Bioavailability Enhancement Approaches. Journal of Pharmaceutical Science and Technology 2 (10):348-355.

Negi, A.S., J.K. Kumar, S. Luqman, K. Shanker, M.M. Gupta and S.P.S. Khanuja. 2008. Recent Advances in Planthepatoprotectives: a chemical and Biological Profile of Some Important Leads. Medicinal Research Reviews 28(5):746-772.

Pradhan S.C. and Girish C. 2006. Review Article: Hepatoprotective Herbal Drug, Silymarin From Experimental Pharmacology To Clinical Medicine. Indian J Med Res 124:491-504.

Radko L. and Cybulski W. 2007. Application of Silymarin in Human and Animal Medicine. Journal Of Pre-Clinical and Clinical Researchl 1(1):022-026.

Shaker, E., H. Mahmoud, S. Mnaa. 2010. Silymarin, The Antioxidant Component and Silybum marianum Extracts Prevent Liver Damage. Food and Chemical Toxicology 48:803–806.

Sidana, J., G. Deswal, P. Nain, K. Arora. 2011. Liver Toxicity And Hepatoprotective Herbs International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research 9(1):116-121.