RELEVANSI KECAKAPAN (BEKWAAM) SEBAGAI SYARAT SAH PERJANJIAN DALAM PERJANJIAN MENABUNG DI BANK
DOI:
https://doi.org/10.31942/jqi.v8i2.1418Abstract
ABSTRAKKecakapan bertindak dalam hukum mengikuti barometer kedewasaan asalkan tidak ada
faktor lain yang menyatakan si dewasa kehilangan kecakapannya. Setiap subjek hukum yang
akan melakukan perjanjian wajib tunduk pada peraturan perundang-undangan sebagaimana
pemahaman pestudi hukum Indonesia yang telah lama terbuai oleh aliran atau teori
positivisme hukum. Patuh secara kaku pada aturan menghilangkan relevansi hukum trerhadap
dinamika masyarakat karena belum tentu isi aturan tertulis sejalan dengan kehidupan nyata.
Dalam kehidupan nyata masih terdapat nilai-nilai non hukum. Jiwa bangsa (volgeist) tidak
akan lenyap dalam nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Kecakapan tidak selamanya dapat
diukur oleh undang-undang karena kecakapan lahir pula dalam kebiasaan-kebiasaan
masyarakat yang sudah menyatu, seperti kemampuan mencari nafkah dan postur tubuh serta
psikologi/mental.
Menabung pada anak usia sekolah adalah mendidik mereka sejak dini untuk mengatur
finansial. Ini adalah kepentingan atau hak yang harus dilindungi hukum. Sedangkan di sisi
lain, bank merupakan lembaga negara yang menyerap dana sebanyak banyaknya untuk
memajukan perekonomian bangsa. Kedua pihak memiliki kepentingan yang saling bertemu dan
saling membutuhkan dalam satu perjanjian. Oleh karena itu pengertian kecakapan harus
ditambahkan dengan pengertian abstrak (memuat norma kabur) sehingga mampu merangkul
kecakapan di luar persangkaan undang-undang. Kecakapan seyogyanya tidak hanya diukur
dari umur kedewasaan semata, tetapi perlu pula memperhatikan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat setempat yang sesuai kepatutan. Poin ini menjadikan kecakapan tidak kaku dan
mampu berlaku selama mungkin.
Kata kunci :relevansi, kecakapan, perjanjian menabung
Downloads
Published
2015-11-01
Issue
Section
Articles