PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA BERDASAR AJARAN MONISTIS DAN DUALISTIS DALAM PERSPEKTIF HAKIM

Authors

  • Dedy Muchti Nugroho Hakim Karir Lingkungan Peradilan Umum

DOI:

https://doi.org/10.31942/jqi.v9i1.1748

Abstract

Keseluruhan hasil penelitian tingkat korupsi negara-negara di dunia maupun regional
ASEAN menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia sangat tinggi. Hal itu sesuai dengan
data pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung. Tindak pidana korupsi dalam tahun 2009
diputus sebanyak 953 perkara, tahun 2010 diputus sebanyak 1053 perkara, tahun 2011 diputus
sebanyak 1127 perkara. Data tersebut menunjukkan tren tindak pidana korupsi makin naik
sekaligus merefleksikan bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia tidak memuaskan jika tidak ingin dikatakan gagal.
Upaya mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi melalui legislasi telah
dilakukan dengan cara mengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1964 dengan UndangUndang
Republik
Indonesia
Nomor
3 tahun
1971 kemudian
diganti
lagi
dengan
UndangUndang
Republik
Indonesia
Nomor
31 tahun
1999 yang
kemudian
disempurnakan
dengan

Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
20 tahun
2001, di
samping
itu
juga
melalui

legislasi
dilakukan
penguatan
kelembagaan,
antara
lain
dengan
Undang-Undang
Republik

Indonesia
Nomor
30 tahun
2002 yang
melahirkan
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
(KPK),

Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
37 tahun
2008
melahirkan
Ombudsman

dan
Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000 memberikan dasar peran serta masyarakat dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pemberantasan tindak
pidana korupsi tersebut tidak secara otomatis menghentikan perilaku korup karena masih
digantungkan kepada aparat penegak hukum pelaksanaannya. Lemahnya pemberantasan tindak
pidana korupsi oleh aparat penegak hukum pada saat ini antara lain disebabkan oleh ego
sektoral lembaga penegak hukum dan putusan hakim yang belum memuaskan.
Putusan hakim pada umumnya masih menerapkan ajaran klasik monistis. Ciri putusan
monistis terlihat dalam pertimbangan hukum hakim yang memandang pelaku tindak pidana dan
perbuatan pidana sebagai unsur tindak pidana, di samping itu kesalahan dipandang hanya
sebagai keadaan psikologi pelaku pada waktu mewujudkan tindak pidana dengan “sengajaâ€
atau karena “kelalaian†dan pemidanaan secara absolut diserahkan kepada hakim dalam batas
minimal dan maksimal yang ditentukan perundang-undangan.

Kata kunci : Tinda Pidana Korupsi, Perspektif Hakim

Downloads

Published

2017-05-05

Issue

Section

Articles