Politik Hukum Pengaturan Hak Politik Bagi Mantan Narapidana Dalam Pemilu
Abstract
Abstrak
Secara historis, undang-undang di bidang pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dan pemilu eksekutif (Presiden dan wakil Presiden, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) pernah mengatur tentang larangan bagi mantan narapidana yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih, mencalonkankan diri dalam Pemilihan umum. Namun sejak adanya Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 42/PUU-XIII/2015, ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Putusan MK ini lalu kemudian ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun demikian, sekalipun sudah ada putusan MK yang membolehkan mantan narapidana mencalonkan diri dalam pemilu dengan syarat-syarat tertentu, tidak menyebabkan surutnya keinginan publik untuk tetap melarang mantan napi ikut kontestasi pemilu. Aspirasi inilah yang kemudian ditindaklanjuti oleh KPU dengan mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota dan PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD. Pada intinya, kedua PKPU ini melarangmantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi mencalonkan diri dalam pemilu 2019. Walaupun, pada akhirnya PKPU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pertanyaan besarnya adalah, apa sebenarnya yang melatarbelakangi pembentuk UU melarang mantan napi ikut berkontestasi dalam pemilu? Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aspek filosofis yang melartarbelakangi munculnya ketentuan larangan tersebut adalah adanya keinginan agar orang-orang yang akan dipilih adalah orang yang berkompeten, berkualitas dan mempunyai moral yang baik sehingga pemilu diharapkan mampu menjaring pemimpin-pemimpin yang baik dan mempunyai integritas kepemimpinan yang tinggi, memiliki integritas dan kapabilitas moral yang memadai, bersih, berwibawa, dan jujur sehingga mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, dan pada gilirannya dapat menciptakan stabilitas kepemimpinan.
Â
Kata Kunci: Politik Hukum, Hak Politik, dan Mantan Narapidana.